Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

feature content slider

Template Information

Contact online



Assalamu'alaikum wr wb
Selamat datang di MIQRA INDONESIA GROUP. Sumber Inspirasi, Motivasi, Ilmu dan Amal untuk ke-SUKSES-an hidup Anda di dunia akhirat.
Ayo Gabung Dengan Komunitas Pembaca MIQRA INDONESIA GROUP
Dapatkan Hadiah Ebook:
”ILMU MENJADI KAYA”

Setelah Anda bergabung dengan Mailing List MIQRA INDONESIA GROUP.


| ILMU MENJADI KAYA |

Test Footer

Your Ad Here

Featured Posts

08 January 2009

Sanitasi Penyehatan Makanan Sebagai “Penghalau” Keracunan Makanan


Sanitasi Penyehatan Makanan Sebagai "Penghalau" Keracunan Makanan
Oleh: Arda Dinata

AKHIR-AKHIR ini, kerap kali terjadi kasus keracunan makanan di tengah-tengah masyarakat kita, salah satunya adalah terjadinya keracunan karena setelah "meminum susu". Susu adalah suatu bahan makanan yang utama dan merupakan kumpulan dari bermacam-macam gizi makanan yang penting bagi tubuh. Itulah sebabnya, mengapa keberadaan susu ini bagi anak-anak sangat penting untuk pertumbuhan badan, sedangkan untuk orang dewasa susu berguna dalam membangun kesehatan tubuh yang lebih prima.

Lebih jauh, susu ini tidak jarang digunakan sebagai makanan tambahan (extra voeding) bagi anak-anak sekolah dan karyawan-karyawan industri/pabrik. Hal ini dimaksudkan tidak lain untuk menambah daya tahan tubuh dan produktivitas kerja mereka agar tidak mudah diserang penyakit. Fungsi ini tentu tidak berlebihan, pasalnya di dalam susu itu mengandung zat-zat makanan yang berguna bagi tubuh manusia, seperti lemak, protein, laktose, garam mineral, dan vitamin.

Walaupun demikian, biarpun kandungan susu ini sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, tapi bila dalam proses pengolahan, penyajian dan penyimpanannya tidak/kurang hati-hati justru akan berbahaya terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (baca: bisa terjadi kasus keracunan). Hal ini didasarkan karena susu itu mudah sekali membusuk/ mengasam dan mudah sekali rusak (pecah).

Kondisi susu yang pecah tersebut, pada umumnya disebabkan karena memang susu itu sendiri telah lama, hingga timbul asam. Atau bisa juga karena susu itu kolestrum, yaitu susu yang keluar (diambil) dari sapi dalam kondisi seminggu setelah sapi beranak.

Terkait dengan itu, barangkali sebagai contoh aktual adalah baru-baru ini kita dikagetkan dengan terjadinya kasus keracunan terhadap ratusan siswa SD di Kota Bandung, setelah minum susu kemasan yang dibagikan gratis. Seperti diberitakan harian "PR" (12/8/04), sedikitnya 250 siswa sekolah dasar dari empat sekolah, yaitu SD Garuda 3, 4, 5 dan SD Dadali 1, mengalami keracunan setelah meminum susu kemasan. Menyinggung penyebab keracunan tersebut, menurut Penanggung Jawab Ruang Gawat Darurat RS Rajawali, dr. Dharma Gita, itu belum diketahui secara pasti. Namun diperkirakan, sejumlah susu yang diminum murid-murid di sana terkontaminasi kuman sehingga basi.

Menyikapi pernyataan tersebut, tentu kalau kita teliti lebih lanjut memang betul kalau susu ini memungkinkan sekali dapat dipakai sebagai media berkembangbiak (baca: terkontaminasi) berbagai kuman-kuman penyakit, terutama penyakit TBC (type boviasis), demam undulant, penyakit kuku dan mulut, diptheri, dan yang lainnya.

Selain itu, susu juga mudah sekali dipalsukan yang mengakibatkan pengurangan nilai-nilai gizi yang dikandungnya (nutritional value). Dan kadang-kadang bahan-bahan subsitusi yang digunakan pun dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan (seperti keracunan dan sejenisnya).

Oleh karena itu, untuk menjaga dan menjamin agar susu yang dihasilkan itu dalam keadaan baik (baca: kualitasnya baik dan hygienis), maka mau tidak mau perlu diadakan pengawasan menyangkut aspek penyehatan (hygiene dan sanitasi) susunya. Hygiene susu ditujukan khusus kepada kualitas susunya sendiri dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium. Sedangkan usaha sanitasi susu ditujukan terhadap segala faktor-faktor lingkungan yang dapat memengaruhi kebersihan susu, diantaranya kebersihan perusahaan susu, kandang sapi, alat-alat yang digunakan, cara memerah susu, cara penyimpanan susu, cara pengangkutan susu, dan yang lainnya.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa seandainya perusahaan-perusahaan penghasil susu itu telah menerapkan sanitasi penyehatan makanan dengan baik, saya kira kemungkinan terjadinya kerusakan terhadap susu yang diolahnya, lebih-lebih terjadinya 'keracunan' tentu dapat kita hindari.

Penyehatan makanan

Untuk mencegah terjadinya kasus keracunan makanan, termasuk terjadinya "keracunan susu", maka tidak ada jalan lain makanan dan minuman itu syaratnya harus 'sehat'. Dalam arti, bahan bakunya baik, tenaga pengolahnya sehat dan peralatan yang digunakan bebas dari bibit penyakit, zat kimia berbahaya serta lingkungan yang bersih.

Kalau kita perhatikan, pada dasarnya keberadaan prinsip penyehatan makanan ini bertujuan menjaga agar makanan aman untuk dikonsumsi manusia. Dalam arti tidak menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya, seperti keracunan.

Dalam hal ini, setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi penyehatan makanan itu. Pertama, faktor sosial budaya masyarakat (baik konsumen maupun produsen makanan). Kondisi rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan, dan didukung pula oleh rendahnya budaya masyarakat tentang penyehatan makanan, maka kemungkinan besar hal tersebut akan dapat membahayakan konsumen itu sendiri. Karena kebutuhan mereka masih merupakan dorongan untuk mengkonsumsi, walaupun sekarang masalah gengsi dan pola hidup konsumtif telah menjadi bahan pertimbangan. Kondisi seperti itu seringkali mendorong mereka untuk memilih bahan yang rendah mutunya, kadaluarsa, atau pun telah melewati persyaratan sanitasi makanan. Dalam benaknya, pokoknya yang penting dapat dikonsumsi dan sesuai kemampuan (daya belinya). Misalnya, makanan dalam kemasan yang telah cacat, telur telah retak atau pecah, dan yang lainnya.

Kedua, teknologi penanganan makanan. Hal ini, kadang-kadang menjadikan masalah bagi kita dalam menentukan aman tidaknya makanan itu untuk dikonsumsi. Dan akibat perkembangan teknologi ini, sehingga memungkinkan sekali untuk diproduksinya berbagai jenis makanan dalam kemasan. Jenis kemasan itu sendiri bisa berasal dari bahan kaleng, gelas, alumunium dan berbagai jenis plastik.

Dari berbagai bentuk kemasan itu, tentu tidak sedikit kemungkinannya ada yang menimbulkan masalah keracunan makanan. Misalnya, ada beberapa jenis plastik yang mengalami pelarutan terhadap bahan dan jenis makanan tertentu. Selain itu, teknologi ini juga biasanya dimaksudkan untuk proses pengawetan atau menyimpanan makanan dalam jangka waktu lama. Di mana jika menggunakan cara tradisional, kita menggunakan bumbu-bumbuan (rempah-rempah) untuk mengawetkannya, maka sekarang digunakan bahan-bahan kimia (yang kadang-kadang kurang memperhatikan efek sampingnya).

Ketiga, faktor lingkungan (sanitasi). Penyehatan makanan dalam kaitannya dengan lingkungan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengendalikan faktor makanan, tenaga pengelola, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau memungkinkan timbulnya berbagai penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Sehingga dalam usaha penyehatan makanan ini perlu diterapkan pengawasan terhadap prinsip hygiene sanitasi makanan, agar ketiga faktor tersebut dapat kita kendalikan.

Akhirnya, belajar dari terjadinya kasus "keracunan susu" di atas, maka sudah seharusnya pengawasan susu tersebut dilakukaan terhadap: (1) kualitas susunya sendiri, dengan maksud untuk memberikan gizi yang seharusnya dan konsumen terhindar dari berbagai kerugian yang disebabkan pemakaian susu yang mengandung mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit. (2) Melakukan pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat memengaruhi/mengkontaminasi kebersihan susu secara umum.

Jadi, bila hal-hal penyehatan makanan tersebut telah dilaksanakan dengan baik, maka saya kira terjadinya kasus keracunan makanan (akibat meminum susu) dapat dicegah.***

Arda Dinata, A.M.K.L.,
Sanitarian dan tergabung di Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI).

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Sikap Menghadapi Problematika Hidup

 
Sikap Menghadapi Problematika Hidup
Oleh: ARDA DINATA
 
Keluarga sakinah terbentuk bukan karena kosongnya kesulitan, ujian, dan problematika hidup. Tapi, ia terbentuk karena sikap dan cara menyikapinya dengan benar yang menghampirinya. Adanya problematika hidup menyebabkan manusia dapat memaknai arti sebuah jalan keluar yang diambilnya. Dan agar manusia kreatif dalam mencari, menemukan keputusan yang tepat sebagai jalan keluar bagi problematika hidupnya.

Problematika hidup (dalam kelurga) merupakan sebuah keniscayaan dalam nuansa fluktuatif kehidupan manusia. Keberadaannya membikin hidup lebih hidup. Tidak membosankan. Bukankah watak manusia selalu bosan dengan kondisi realita yang tidak berubah. Artinya bukan kita bermaksud menantang problematika hidup untuk datang, tapi lebih didasarkan agar kita bisa bersikap positif dan benar dalam menghadapinya.

Untuk itu, setiap kita yang ingin membentuk tatanan keluarga sakinah harus mempersiapkan diri sedari awal berupa kemampuan menghadapi berbagai problema kehidupan. Sosok demikian, tidak lain merupakan wujud dari manusia saleh.

Dalam Islam digambarkan didikan dari manusia saleh ini adalah manusia yang memiliki ketakwaan yang senantiasa mengabdi kepada Tuhannya dan berpegang teguh pada petunjuk Tuhannya. Di samping itu, ia juga yakin akan tujuan kehidupannya hanya semata-mata mengabdi kepada Allah.

Sosok manusia saleh, diungkap Dr. Syamsul Bahri Andi Galigo, dalam Alquran dan Peningkatan Kwalitas Manusia, adalah manusia yang berakhlakul karimah, lahir dan batin, menjadi percontohan dalam kehidupannya dan mudah memberi pengaruh kepada orang lain dan sulit untuk dipengaruhi karena landasan moralnya berupa hidayah Allah sudah menjadi prinsip dalam kehidupannya (QS. Al-Baqarah [2]: 38).

Totalitas sosok manusia saleh dapat kita temukan dan tercermin pada diri Rasulullah saw. Itulah sebabnya selaku umat Islam, mengapa kita harus menjadikan Nabi Saw sebagai uswah (suri teladan) bagi mereka yang ingin mendapat ridha-Nya. Lagian dalam Alquran ditegaskan ada beberapa ciri manusia saleh ini, yaitu memiliki iman, amal saleh, selalu berpesan mempertahankan kebenaran dan tabah menghadapi problematika hidup.

Menurut Ibrahim al-Wazir, dalam Iman dan Amal Saleh diungkapkan bahwa iman dan amal saleh tidak bisa dipisahkan dalam kenyataan hidup, karena iman laksana dynamo pada mesin, sedang amal saleh adalah manfaat yang diperoleh dari mesin itu akibat pengaruh dynamo tersebut. Mempertahankan kebenaran adalah hak asasi setiap manusia yang terpendam di dalam hati sanubari, maksudnya setiap orang cinta kebenaran, namun didalam kehidupan ini terkadang manusia membohongi dirinya sendiri. oleh karena itulah mempertahankan suatu kebenaran –apalagi kebenaran dari Yang Maha Kuasa—jelas menunjukkan sifat mulia yang tidak pernah luput pada diri seorang manusia saleh.

 

Sabar dalam Hidup


Hidup di dunia ada kalanya kesulitan datang dan ada pula kenikmatan yang menghapiri kita. Ia datang bisa silih berganti. Untuk itu, kita diajarkan oleh Rasulullah menyikapinya dengan sabar dan syukur. Bersabar bila ada kesulitan dan bersyukur ketika kenikmatan datang kepada kita. Konsep dasar inilah yang harus kita tanamkan dalam setiap anggota keluarga kita.

Hakikat sikap sabar, tidak lain tahan menderita terhadap sesuatu yang tidak disenangi hati dan perasan dengan penuh kesadaran sambil tawakkal kepada Allah. Ingat, tugas kita dalam hidup ini hanya luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar.

Oleh karena itu, tidaklah disebut sabar apabila menahan dirinya itu disebabkan keterpaksaan atau dipaksa. Tepatnya, sabar termasuk satu kesatuan jiwa yang dapat menentukan sikap. Sehingga sikap sabar bagi kehidupan kelurga adalah dengan memposisikan setiap problematika hidupnya sebagai proses pendewasaan kwalitas kehidupan yang penuh arti dan bermakna.

Pada tatanan yang lebih dasar, sabar merupakan sikap yang memancar dari dalam hati, yang tegak di atas penyerahan diri sambil memohon pertolongan kepada Allah Swt. "Wahai orang-orang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan dengan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah [2]: 153).

Agar sabar yang kita bangun lebih maksimal, maka sudah seharusnya kita mengetahui beberapa tingkatan sabar ini. Pertama, sabar dalam arti mampu menahan diri dari berbuat maksiat, dosa dan segala bentuk kejahatan dan keburukan (baca: QS. Az-Zumar [39]: 10).

Kedua, sabar dalam arti menerima segala mcm musibah yang menimpa atau ditimpakan oleh Allah sambil berusaha mencari jalan keluarnya.

Ketiga, sabar dalam arti tidak memberikan reaksi balik terhadap segala macam fitnah, isu maupun sikap jahat dan perlakuan negatif dari orang lain yang diarahkan kepada dirinya karena dikhawtirkan akan menambah buruknya suasana.

Keempat, sabar dalam arti mendoakan kebaikan atas orang yang melakukan tindakan atau sikap jahat seperti sabarnya para ulul azmi (orang-orang yang mempunyai keteguhan hati), sambil tawakkal kepada Allah.

Akhirnya, apapun kesulitan dan kesengsaran dalam problemtika hidup yang menimpa tatanan keluarga kita, maka harus disikapi dengan sabar. Sabar bukan berarti diam, tidak boleh menangis, dan sedih. Tapi, sabar yang lahir dari sikap menerima problematika hidup sebagai bagian dari takdir. Sehingga ia akan menjadi ketenangan yang melindungi dari penyesalan yang tak berujung. Wallahu'alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,