Ads 468x60px

Pages

Subscribe:

feature content slider

Template Information

Contact online



Assalamu'alaikum wr wb
Selamat datang di MIQRA INDONESIA GROUP. Sumber Inspirasi, Motivasi, Ilmu dan Amal untuk ke-SUKSES-an hidup Anda di dunia akhirat.
Ayo Gabung Dengan Komunitas Pembaca MIQRA INDONESIA GROUP
Dapatkan Hadiah Ebook:
”ILMU MENJADI KAYA”

Setelah Anda bergabung dengan Mailing List MIQRA INDONESIA GROUP.


| ILMU MENJADI KAYA |

Test Footer

Your Ad Here

08 September 2008

Membeli Surga

Oleh Arda Dinata
Email:
arda.dinata@gmail.com

Dalam hidup ini sejatinya identik dengan proses “jual-beli”. Satu kisah yang mengganbarkan proses jual-beli adalah ketika berlangsungnya baiat yang kedua antara orang-orang Madinah dengan Rasulullah. Waktu itu, di bukit Aqabah, beberapa bulan sebelum Nabi SAW melaksanakan hijrah ke Madinah, Abdullah bin Rawahah yang akan melakukan baiat kepada Rasulullah mengajukan pertanyaan, “Syarat apakah yang engkau tuntut dari aku untuk Tuhanmu, dan untuk dirimu sendiri?”

Rasulullah menjawab, “Syarat yang aku minta bagi Tuhanku adalah agar kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan dengan suatu apapun. Sedangkan yang aku minta untuk diriku, hendaklah kamu melindungi aku sebagaimana kamu melindungi dirimu dan hartamu.”

Abdullah bin Rawahah kembali bertanya, “Imbalan apa yang akan kami peroleh bila kami melakukan itu semua?”

“Surga!” jawab Rasulullah singkat.

“Oh, itu jual beli yang menguntungkan, dan kami tidak mau membatalkan atau meminta untuk dibatalkan,” jawab hadirin bergembira.

Menurut tafsir Ibnu Katsir, dari peristiwa itu kemudian Allah menurunkan firman-Nya, yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman, diri dan harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, (itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Alquran. Dan siapakah yang lebih menempati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At Taubah: 111).

Jadi, jika kita ingin “membeli kemenangan (surga)”, maka jangan lepaskan setiap transaksi kehidupan kita dengan Allah SWT. Apalagi di era pertarungan pemikiran, gagasan, ide, dan informasi dewasa ini, tentu sedikit banyak akan menggoda kebijakan jual beli perilaku hidup yang kita lakukan.

Di sini, Allah telah memberi isyarat pada kita agar waspada tentang tipu daya jual beli yang ditawarkan oleh orang-orang kafir. Allah berfirman, yang artinya: “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah datar, yang disangka air oleh orang-orang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS An Nuur: 39).

Untuk itu, kita harus sadar betul bahwa cobaan dan ujian seberat apa pun dalam hidup ini, harus dihadapi atas dasar beriman dengan sepenuh hati kepada Allah. Bila kita melakukan hal ini, Allah SWT berjanji dalam QS Fushshilat: 31, yang artinya: “Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” Wallahu a’lam.

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.http://www.miqra.blogspot.com

Koalisi Hati Sebagai Tunas Perdamaian

Oleh: Arda Dinatahttp://ardaiq.blogspot.com

BERITA wafatnya Rasulullah Saw., menorehkan rasa kesedihan teramat berat bagi para sahabat, umat, dan keluarga tercinta. Atau siapa pun yang telah dengan setia dan sepenuh hati hidup bersamanya. Namun, apa yang dilakukan Umar bin Khatab berbeda dengan sahabat lainnya. Umar masih terus berbicara lantang pada orang-orang di sekitar masjid. “Barangsiapa mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah mati akan berhadapan dengan pedangku ini! Rasulullah belum wafat! Ia sedang menghadap Allah, sebagaimana Nabi Musa selama empat puluh hari menemui Rabb-Nya!” teriaknya.

Mendengar suara Umar tersebut, Abu Bakar keluar dari bilik Rasulullah Saw. Beliau berkata, “Tunggu sebentar, wahai Umar!” panggilnya dengan nada tinggi. Namun, Umar bin Khatab tidak menggubris teguran sahabatnya. Ia terus berbicara lantang.

Lalu, Abu Bakar mengumpulkan orang-orang dan dengan lantang berpidato, “Wahai sekalian manusia. Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup dan tidak mati.” Selanjutnya, Abu Bakar membaca firman Allah dalam QS. Ali Imran: 144, yang artinya: “Muhammad itu tidak lain hanya seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun.”

Pokoknya, tersebarnya berita kematian Rasulullah itu memang menggemparkan kaumnya. Kaum Anshar mendatangi Sa’ad bin Ubadah, berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah di rumah Fathimah. Sementara itu, kaum Muhajirin berkumpul di sekeliling Abu Bakar dan bersama Usaid bin Hudhair di daerah perkampungan Bani Asyhal.

Pada waktu itulah, ada seseorang menemui Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Ia mengatakan, “Kaum Anshar telah berkumpul dengan Sa’ad bin Ubadah di Saqifah Bani Saidah. Bila engkau berkepentingan dengan urusan mereka, segera temuilah orang-orang itu sebelum semuanya menjadi kacau,” katanya. Sejurus kemudian, Umar berkata kepada Abu Bakar, “Mari kita temui saudara kita kaum Anshar, agar kita bisa melihat apa yang mereka lakukan.”

Ketika Abu Bakar dan Umar tiba di Saqifah Bani Saidah, sebenarnya orang-orang kaum Anshar ini sudah meminta agar kaum Anshar dan Muhajirin mengangkat pemimpinnya masing-masing. Namun akhirnya, kemelut siapa yang menjadi pemimpin di antara dua golongan itu bisa diatasi dengan baik, setelah kedatangan Umar dan Abu Bakar.

Gagasan adanya dua pemimpin itu ditolak. Umar maju memegang tangan Abu Bakar, lantas membaiatnya. Tidak lama kemudian, para sahabat yang hadir pada saat itu secara bergantian membaiatnya. Dan keesokan harinya, orang-orang hadir di Masjid Nabawi dalam baiat umum untuk menyatakan kepada pemimpin mereka yang baru itu.

* *

SEPENGGAL kisah di atas, sesungguhnya telah menuntun kita agar mampu membiasakan diri membangun koalisi hati di tengah-tengah keberagaman umat, lagi penuh aneka warna kehidupan. Seperti tergambar dari kesigapan para sahabat senior itu yang mampu menyatukan aneka kepentingan dari kaum Anshar dan Muhajirin. Dan bisa jadi bila tidak segera diambil keputusan, tentu akan timbul perpecahan yang mendera umat Islam saat itu. Dalam arti lain, kondisi keterpautan hati kedua kepentingan golongan itu, sesungguhnya merupakan sebuah gambaran obsesi kemuliaan dan bagaimana cara memperturutinya. Inilah sesungguhnya sebuah kejujuran akan kedamaian.

Lebih jauh, bila kita tafakuri dalam relung hati yang paling tersembunyi sekali pun, akan ditemui jawaban kejujuran itu. Adakah yang lebih jujur dari hati nurani, ketika ia menyadarkan kita tanpa butiran kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, saat ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan kehilafan ini. Singkatnya, sesungguhnya kondisi yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini, tidak lain saat di mana kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati (keimanan).

Sehingga pantas Imam Turmudzi mengatakan, “Hidupnya hati karena iman dan kematiannya karena kekufuran. Sehatnya hati karena ketaatan dan sakitnya hati karena terus-menerus mengerjakan kemaksiatan. Kesadarannya hati karena dzikir dan tidurnya hati karena kelengahan.” Jadi, imanlah yang harus menjadi dasar dalam membangun koalisi hati ini. Lebih-lebih realitas kehidupan mengajarkan bahwa sesungguhnya hidup itu dibangun atas keberagaman dalam bingkai “kesatuan keimanan”.

Abu Hamid al-Ghazali mengungkapkan, iman adalah pembenaran dengan hati yang kuat, yang tidak ada keraguan padanya, hingga mencapai derajat yakin. Dan, antitesa iman adalah kufur yang merupakan pembangkangan, pengingkaran, dan pendustaan terhadap Rasulullah dan atas sesuatu yang beliau sampaikan. Sedangkan, iman adalah pembenaran seluruh yang beliau sampaikan dan bentuknya ini bersifat plural sesuai dengan pluralitas tingkat takwil bagi wujud ini.

Di sini, inti yang patut disandarkan dalam perilaku membangun kedamaian hidup adalah tafsir akan kesatuan iman itu tidak berarti kesatuan akan jalan dan perangkat serta teknis yang dipergunakan oleh seorang mukmin dalam menghasilkan keimanan. Aktualisasinya, berarti saat di mana kelompok mukmin dalam kehidupan berbangsa lebih memilih “warna tafsirnya” masing-masing. Maka sesungguhnya, bagi dirinya tidak bisa memungkiri atas kesatuan keimanan yang telah diyakininya. Artinya, ketika usaha mewujudkan kedamaian itu secara fisikal berbeda-beda warna dan ”susah untuk dipersatukan,” maka saat itulah jalan harapan satu-satunya adalah berupa mewujudkan terciptanya “koalisi hati” dalam mengambil keputusan untuk kepentingan umat.

* *

KOALISI hati, adalah kata yang indah dan memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa, bila kita mampu mensinergikannya. Misal, seperti apa yang pernah terjadi di Madinah ketika meletakan bentuk masyarakat Islam pertama setelah hijrahnya kaum muslimin ke Madinah. Disanalah terbentuknya persaudaraan antar kaum mukmin sebagai tonggak pertama untuk menegakkan masyarakat baru. Yaitu dengan mempersatukan mereka ke dalam satu ikatan yang kokoh atas dasar rasa cinta dan kasih sayang, sehingga kaum Anshar (penduduk Madinah) terbuka hatinya dan merelakan rumah tempat tinggalnya dimanfaatkan untuk kepentingan saudara-saudaranya dari Makkah (Muhajirin) walaupun diantara mereka tidak ada hubungan rahim.

Pokoknya, atas dasar kecintaan terhadap saudaranya yang berdasar pada iman dan taqwa tersebut, maka kaum Anshar rela sepenuh hati untuk membantu segala keperluan kaum Muhajirin, sehingga akhirnya mereka bersatu dalam bangunan “masyarakat Islam”.
Jadi, adanya koalisi hati yang dibalut keimanan semacam itu adalah sesuatu yang penting untuk kita kedepankan. Lebih-lebih hal ini diperuntukan untuk kebaikan bersama. Tanpa ada koalisi hati, sesungguhnya tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Karena, bukankah perdamian itu sendiri merupakan fitrah dari hati manusia?

Sebenarnya, kekuatan koalisi hati tak hanya terletak pada fitrahnya semata-mata. Tapi, lebih dari itu, hati sendiri pada dasarnya merupakan tunas dari kekuatan kedamaian. Dr. Ahmad Faried, menggambarkan bahwa hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah sebagai reaktor pengendali atau remote control sekaligus pemegang komando terdepan (utama). Oleh karena itu, semua anggota tubuh berada dibawah komando dan dominasinya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, dalam ketaatan atau penyimpangan.

Akhirnya, bisa kita bayangkan betapa luar biasanya bila kekuatan kaum mukmin di Indonesia saat ini mampu dipersatukan melalui “bangunan koalisi hati”? Maka tatanan kedamaian itu, tentu akan menjadi cerita indah tersendiri bagi penduduknya. Sehingga tidak berlebihan kalau untuk membangun koalisi hati sebagai tunas perdamaian itu, dibutuhkan keahlian dan kapasitas dari orang-orang yang tidak biasa-biasa saja. Dialah sosok manusia yang mampu merealisasikan “bahasa kejujuran” pada hati nurani, yang disirami dengan iman dan keyakinan penuh kepada Allah, sehingga darinya akan lahir mata air kedamaian yang tidak pernah kering. Pertanyaannya, mau tidak kita mewujudkannya? Wallahu a’lam. [Arda Dinata]. ***

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.http://www.miqra.blogspot.com

Janji dan Takaran Kehormatan Manusia

Oleh: Arda Dinatahttp://ardaiq.blogspot.com

ADA tiga orang pemuda berhasil menjambret uang ratusan juta dari seorang nasabah bank. Mereka lari dan bersembunyi ke hutan. Setelah beberapa hari bersembunyi, mereka kelaparan. Maka, mereka berunding untuk membagi uang hasil rampokannya. Mereka sepakat sebelum membagi uang tersebut, salah satu dari mereka pergi ke kota untuk mencari makanan dan minuman.

Setelah salah satu pergi ke kota, dua pemuda yang berada di persembunyian berpikir. “Seandainya uang ini dibagi dua saja, maka bagian kita akan lebih banyak.” Mereka sepakat, kalau temannya kembali dari kota dihabisi saja nyawanya.

Pemuda yang pergi ke kota, setelah makan dan kenyang, dalam hatinya terlintas pikiran, “Seandainya semua uang hasil rampokan tadi dimiliki sendiri, tidak usah dibagi tiga, aku akan kaya raya.” Maka ia berniat menghabisi nyawa kedua rekannya itu dengan mencampurkan racun warangan yang hampir tidak berbau ke dalam makanan.

Dengan tenangnya, ia kembali ke hutan. Ketika melongokkan kepala ke gubug tempat persembunyian, dari dalam disambut dengan pentungan oleh kedua rekannya. Sebentar kemudian ia jatuh dan tak bergerak lagi. Lalu, kedua pemuda itu menikmati makanan dan minuman yang dibawa oleh teman yang telah mereka bunuh, tak berapa lama keduanya pingsan dan tak sadarkan diri untuk selamanya.

Itulah kisah tragis sahabat karib yang saling ingkar janji (berkhianat) demi harta (hawa nafsu) dan ego pribadinya yang hanya sesat. Padahal, bagaimanapun perilaku ingkar janji itu akan berbuah “kesengsaraan, kecelakaan dan penderitaan” pada individu yang bersangkutan.

* *

DARI kisah di atas, ada satu hal yang patut dikontemplasi oleh kita. Kontemplasi berarti merenung atau berpikir secara mendalam dan mendasar. Yakni berkait dengan “janji manusia” dalam kehidupan sehari-hari. Bila janji telah terucap, maka realisasinya harus terjawab, dipenuhi dan diwujudkan dengan baik. Karena kalau janji itu terlenakan dan diabaikan (dusta belaka), maka seperti kisah di atas akan berujung pada kesengsaraan dan penderitaan yang tragis.

Keberadaan janji ini, memang akan selalu bersentuhan dengan kehidupan manusia. Apalagi, misalnya menjelang pemilihan umum (Pemilu), akan bertebaran janji-janji dari juru kampanye partai politik. Biasanya, untuk menarik simpati masyarakat pemilih, mereka “mengobral” janji-janji dengan embel-embel yang menggiurkan. Dan sering kali, tidak sedikit dari janji-janjinya itu hanya dusta belaka. Padahal, kalau kita mau jujur inilah sebenarnya salah satu penyebab keterpurukan bangsa ini.

Untuk itu, kita harus sadar. Seperti diakui dalam pandangan filsafat, di dunia ini ada hukum sebab akibat. Artinya setiap tindakan selalu mendapat ganjarannya. Setiap individu terikat pada hasil perbuatannya dalam hidup sekarang dan hidup yang akan datang. Demikian pula terhadap janji-janji yang kita ucapkan, bila diingkari akan terpulang pada diri kita.

Itulah sebabnya, mengapa Sayyid Mujtaba Musavi Lari mengungkapkan, jika lidah manusia telah teracuni oleh dusta, kotorannya akan tampak padanya. Dampak-dampaknya adalah seperti angin musim gugur yang menghembus daun-daun pepohonan. Dusta memadamkan cahaya eksistensi manusia dan menyalakan api khianat dalam dada. Dusta juga memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menghancurkan ikatan persatuan dan keharmonisan di antara manusia serta mengembangkan kemunafikan.

Sebenarnya, penyebab besar menyangkut kesesatan manusia ialah bersumber dari pernyataan-pernyataan batil dan kata-kata yang kosong. Di sini, tentu sangat berbahaya terutama bagi manusia yang memiliki niat jahat, karena dusta merupakan pintu terbuka untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya dengan menyembunyikan fakta-fakta dibalik kata-kata magisnya, dan kemudian menerkam orang-orang yang tidak berdosa dengan dusta-dusta yang beracun.

Dari sini, setiap kita hendaknya waspada terhadap janji-janji yang kita ucapkan. Sebab, kata Dr. Raymond Peach, dusta adalah senjata pertahanan terbaik dari orang yang lemah dan jalan tercepat untuk menghindari bahaya. Dalam banyak hal, dusta merupakan suatu reaksi terhadap kelemahan dan kegagalan. Jadi, bila seseorang ingkar janji (berdusta) berarti sesungguhnya ia adalah orang-orang yang lemah.

* *

JANJI jujur adalah salah satu sifat yang paling indah. Sebaliknya, janji dusta merupakan salah satu sifat yang paling buruk. Di sini, lidah berperan menerjemahkan perasaan-perasaan batin manusia keluar. Oleh karena itu, jika dusta itu berangkat dari dengki/benci, maka ia merupakan salah satu tanda yang berbahaya dari amarah. Dan jika dusta itu berangkat dari kebakhilan atau kebiasaan, maka sesungguhnya sifat ini berasal dari pengaruh-pengaruh nafsu manusia yang membara.

Al-Ghazali berkata, “Lidah adalah anugerah yang bermanfaat. Ia adalah makhluk yang lembut, dengan tidak menghiraukan ukurannya yang kecil ia melaksanakan tugas yang sangat penting ketika ia ingin taat dalam keadaan tidak taat. Baik kafir maupun beriman, terejawantahkan melalui lidah, dan ia adalah ibadah atau keingkaran yang penghabisan.”

Jadi, ketiadaan rasa tanggung jawab dan pelanggaran berbagai peraturan hanya akan mewujudkan kejahilan akan asas-asas kehidupan dan mengantar kepada kesengsaraan dan kerusakan. Tidak ada kesalahan yang lebih besar daripada pelecehan terhadap para anggota masyarakatnya. Oleh karena itu, kita harus mencegah pelanggaran kewajiban individual yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi nafsu-nafsu kita.

Menurut Buzarjumehr, pelanggaran sumpah (janji-Pen) menjauhkan martabat manusia. Artinya orang-orang yang menyelewengkan dirinya dari jalan yang benar dengan melanggar janji-janjinya, akan menanam benih-benih penolakan dan kebencian di dalam hati orang lain. Pada akhirnya, tindakan pelanggaran itu akan mempermalukannya, kemudian ia akan mencoba untuk menutupi berbagai tindakannya dengan macam-macam alasan dan kontradiksi, sehingga orang-orang yang mengetahui orang ini akan melihat bahwa ia adalah seorang munafik yang tersesat.

Akhirnya dapat dikatakan, kalau ingkar janji itu termasuk diantara unsur yang paling aktif dalam menciptakan perselisihan sosial dan melemahkan ikatan diantara manusia. Sehingga pemenuhan janji itu penting bagi seseorang yang ingin hidup bermasyarakat. Ia adalah landasan bagi kebahagian, perkembangan dan keberhasilan sosial. Jadi, dengan kata lain takaran kehormatan manusia dapat terukur dari seberapa besar ia mampu menepati janji-janjinya. Wallahu’alam.***

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.http://www.miqra.blogspot.com

Budaya Cinta Lingkungan

Oleh: ARDA DINATA 

SEMUA organisme memperoleh bahan-bahan dan energi untuk hidupnya dari alam lingkungannya. Begitu pula halnya dengan manusia. Ia mempergunakan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Terjadinya fenomena alam akhir-akhir ini, yang berakibat buruk terhadap manusia, sudah seharusnya membuat kita sadar untuk selalu memperlakukan alam lingkungan di sekitar kita secara bijak daan bersahabat. Saling menguntungkan antara lingkungan dan manusia. Dan bukan sebaliknya, kita justru merusak tatanan lingkungan hidup tersebut.

Lingkungan hidup itu sudah barang tentu merupakan kawan dan harus menjadi kawan. Antara kita dan alam lingkungan, satu sama lain harus saling memelihara, saling membutuhkan dan saling memberi. Sebab, antara kita dan alam lingkungan adalah satu dalam suatu kehidupan.

Apabila dalam masyarakat ada suatu gerakan untuk berupaya melestarikan hubungan harmonis antara manusia dan alam lingkungannya, maka gerakan itu harus kita sambut dan dukung. Karena gerakan tersebut adalah gerakan yang berusaha menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia, yang dengan akal dan pikirannya mengutamakan kepentingan bersama.

Pelestarian lingkungan merupakan kewajiban setiap manusia sebagai perwujudan manusia itu sendiri yang nyata dalam mengaplikasikan dirinya terhadap Sang Maha Pencipta, Allah Azza wa Jalla.. Lebih jauh, pemanfaatan sumber daya alam hendaknya selaras, seimbang, dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bertanggung jawab atas berlangsungnya hidup manusia serta makhluk hidup lainnya di alam ini. Itulah kesadaran kita terhadap lingkungan. Sadar terhadap lingkungan, berarti membangun dan melestarikan sumber daya alam menuju tegaknya budaya cinta lingkungan.

Di sini, perlu dicatat bahwa tanaman berhak untuk hidup dan tumbuh, tanah berhak untuk ‘bernapas’, ayam dan ternak (baca: hewan) berhak untuk berkembangbiak agar memperoleh kemuliaan dikala disembelih dan dimakan manusia. Mungkin Anda ingat, akan riwayat yang bercerita tentang Nabi Ibrahim as. Dia memimpin hak-hak binatang, batu dan kerikil, padi dan hutan? Oleh karenanya, kita pun harus menyempurnakan hak-hak memelihara tanah dan alam lingkungan ini. Karena, bukankah seorang khalifah itu harus memimpin tanah dan airnya?

Tanah dan air itu, akan menumbuhkan pepohonan yang rindang sebagai paru-paru dunia dan manusia hidup di dalamnya. Kita membayangkan pohon-pohon cemara menjulang tinggi melambai-lambai membagi cinta dan kasih sayang dengan manusia. Tidak ada suatu keindahan yang paling indah, selain keindahan di saat kita berkencan dengan keindahan alam. Itulah salah satu perwujudan dialog kita kepada Allah SWT. Wallahu’alam.***

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.http://www.miqra.blogspot.com

Belajarlah Kepada Air

Oleh: ARDA DINATA

Keberadaan belajar merupakan hal yang penting dalam menggapai kelangsungan hidup seseorang. Demikian pula halnya dengan fenomena terjadinya krisis air dewasa ini, tentu kita harus mampu melakukan kegiatan “belajar”. Sehingga kita tidak hanya mampu dalam bagaimana mengelola air itu secara baik dan bermanfaat. Lebih dari itu, kita harus menyadari kalau air merupakan cipataan Allah yang mesti “dibaca”, karena segala cipataan-Nya di bumi ini mengandung banyak pelajaran bagi manusia. Untuk itu marilah kita belajar kepada air dan tidak semata-mata cukup dengan memanfaatkannya saja.

Melalui karakter yang dimiliki air, mestinya tiap manusia yang menggunakannya akan sejalan dengan kepadaian dalam mengelolanya. Mengapa demikian? Paling tidak menurut Al-Faruqi (2002), hal itu didasarkan atas beberapa ibroh yang dimilikinya. Pertama, seperti air mengalir, manusiapun berjalanlah sesuai fitrahnya. Pada saat ada sandungan batu atau apa saja, air akan berputar dan apabila datang hambatan yang lebih besar lagi dia akan berkumpul dan bertambah banyak sehingga batu itu tenggelam dan terbawa arus olehnya. Begitu juga manusia pada saat datang rintangan carilah jalan keluar, tetapi apabila halangan jauh lebih besar maka kumpulkanlah kekuatan untuk mengancurkannya.

Kedua, semakin miring tempat air mengalir, maka semakin deras arusnya. Posisi sangat menentukan untuk menang atau kalahnya kebenaran atas kebatilan. Tambah tinggi posisi kita secara kualitas maupun kedudukan kita di mata Allah SWT dan manusia, maka akan semakin mudah kita untuk meluncurkan arus kebenaran untuk menang.

Ketiga, jumlah air yang besar apabila di-manage dengan benar akan mendatangkan kekuatan yang luar biasa. Manusia yang di-manage dengan bimbingan Ilahi pasti akan mendatangkan kekuatan bagi kedamaian dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.

Keempat, sesuai dengan sifatnya air dapat berubah wujud, walaupun dzatnya tetap air. Manusia dalam menjalankan hidupnya boleh jadi dalam bersiasah dapat berpenampilan berbagai peran tetapi harus tetap esensinya adalah wujudnya khilafah Allah SWT di bumi.

Kelima, mata air mengalirkan air yang suci bersih jauh menuju samudera, di jalan pasti banyak muatan yang ikut larut ke dalamnya dan apabila kita tidak ekstra hati-hati menjaga kesucian dan kebersihannya, maka sangat mungkin tidak hanya pasir serta tanah yang ikut larut. Tapi, kotoran dan racun pun sangat mungkin ikut di dalamnya. Untuk itu, kita mestilah menjaga kehidupan itu supaya senantiasa sesuai dengan sumbernya.

Akhirnya semoga kita mampu mengambil pelajaran dari realitas alam yang terjadi. Sepatutnya pula kita tidak hanya mampu menafsirkan atas fenomena terjadinya krisis air saat ini. Tapi, lebih dari itu kita mampu belajar kepada air dalam menapaki kehidupan ini agar berperilaku bijak pada alam. Wallahu’alam.***

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.http://www.miqra.blogspot.com

Kasih Sayang Sebagai Rahim Manusia Beradab

Oleh: Arda Dinata
ILMU MENJADI KAYA

PADA suatu tempat bertanah subur, bersungai jernih, dan berlangit biru, tumbuh sebatang asam yang besar. Di sekelilingnya tanah menghijau oleh rumput dan ilalang. Menyadari kekokohan dirinya, pohon asam pun menegur ilalang. Dia kasihan melihat kelemahan ilalang. Angin semilir saja sudah membuatnya seperti kepayahan berayun kian ke mari. Dengan penuh kesadaran dan kekuatan dirinya, pohon asam mengajak ilalang dekat-dekat kepadanya, supaya angin tidak lagi mengancam.

Lucunya, ilalang tidak merasa terancam. Lagi pula, akarnya memang sudah tumbuh pada tempatnya berdiri. Karenanya dia berterima kasih kepada pohon asam seraya mencukupkan dirinya seperti apa adanya. Ilalang mengakui bahwa dia memang lemah. Namun, dalam kelemahannya itu angin semilir atau angin topan baginya jadi sama saja. Dia hanya akan menari. Akarnya jauh tertanam di dalam tanah sehingga akan tetap hidup, menjadi tanda kehadiran tanah tempatnya tumbuh.

Pohon asam tentu saja menjadi geli terhadap kenaifan ilalang. Sebuah ketidaknyamanan yang lirih mengusik pohon asam, dan pohon asam pun lantas menganggap bahwa itu kesombongan diam-diam yang menjengkelkan dari si ilalang yang harus dilenyapkan dengan pembuktian kekuatan dirinya.

Angin topan bertiup kencang. Dengan gagahnya pohon asam menghadang angin. Namun, kali ini topan terlalu besar. Sementara ilalang meliuk dengan luwesnya, pohon asam bergetar hebat dilanda angin. Akhirnya, pohon asam itu roboh dan mati. Ilalang menangis sedih disampingnya.

* *

DARI penggalan kisah fabel klasik La Fonteina tentang pohon asam dan ilalang itu, tentu ada makna kehidupan yang bisa kita renungi sebagai bahan membangun kehidupan yang toleran dan beradab. Munculnya rasa kasih sayang dari pohon asam terhadap ilalang adalah sesuatu yang sungguh luar biasa. Namun, sayang pohon asam membalut makna kasih sayang itu dengan ketidak ikhlasan dalam dirinya. Ego kesombongannya telah mengubur inspirasi kasih sayangnya.

Kasih sayang sudah seharusnya tidak didasari dengan label-label kesombongan. Karena kesombongan apa pun bentuknya, ia dengan sendirinya akan melumatkan segala potensi kasih sayang yang ditawarkannya.

Di sini, harus diakui kalau hidup itu didapat dari pemberian perhatian orang lain (orangtua, saudara, suami, isteri, kawan, dll.). Coba bayangkan, seandainya kita hidup saling mengabaikan, mengacuhkan, hidup sendiri dengan tidak saling memperhatikan. Apa yang akan terjadi?

Adalah mustahil kita hidup sendiri, karena itu menentang sunatullah. Hidup ini akan menjadi indah, bahagia, mengesankan, bermanfaat bagi kita sendiri atau orang lain bila kitanya saling membagi perhatian. Saling memperhatikan adalah gambaran akan adanya hubungan kasih sayang. Dan sebaliknya, kasih sayang bisa terbentuk karena kita saling memperhatikan.

* *

KASIH sayang, kata yang enak didengar, indah dan suci. Adanya didambakan oleh setiap orang. Kasih sayang merupakan rahim manusia beradab yang menentramkan. Kata rahim berasal dari akar yang sama dengan belai kasih, rasa sayang, rasa kasihan, kecenderungan untuk menahan, dan kecenderungan untuk membantu seseorang. Sifat rahmah juga merupakan sifat yang alamiah melekat pada diri seorang ibu (baca: sang pemilik rahim). Karena sifat rahmah sudah berpotensi melekat, menurut Miranda Risang Ayu, adalah tugas ilahiah seorang ibu yang wajar untuk menjadikan dirinya sumber kasih sayang yang menghidupkan bayinya, seperti halnya Allah menjadi sumber sifat kasih sayang yang sempurna bagi alam semesta beserta isinya.

Keberadaan kasih sayang ini tidak akan lahir, bila kita tidak melahirkannya. Yang jelas kasih sayang membutuhkan keterbukaan, pengertian, "pengorbanan", tanggung jawab, perhatian, dan lainnya. Dalam sekala keluarga misalnya, seorang anak terlahir dan terbentuk pada prinsipnya merupakan hasil curahan kasih sayang dari orangtuanya.

Miranda mengungkapkan, pada puncak kesadaran spiritual manusia, perempuan sesungguhnya adalah wajah peradaban. Pada peradaban (sang feminim), manusia adalah subjek aktif yang memproduksi nilai, membangun relasi organis, dan akhirnya, berpartisipasi dalam penciptaan struktur sosial. Sebaliknya, lelaki adalah wajah alam semesta. Pada alam semesta (sang maskulin), manusia adalah subjek yang secara sadar submisif terhadapnya, karena ia bergantung, dihidupi, dilindungi, dan disantuni. Kelangsungan habitatanya sebagai manusia pun amat bergantung pada kemurahan alam semesta.

Di sini, hukum perjalanan telah membuktikan bahwa peradaban yang tidak mengindahkan alam semesta adalah peradaban yang ingkar pada asalnya, dan menuju kepada kehancuran makna kehadirannya. Sementara alam semesta tanpa peradaban adalah stangnasi. Alam semesta tanpa peradaban tidak pernah ada. Ini adalah kehancuran maknawi yang sesungguhnya.

Sebaliknya, interaksi antara peradaban dan alam semesta yang bersifat posesif dan eksploitatif juga akan saling menghancurkan. Interaksi semacam itu akan menimbulkan kemarahan reaktif peradaban sekaligus kemarahan reaktif alam semesta. Kemarahan reaktif peradaban akan berupa tertawa tergelak di atas kerusakan dan ketidakseimbangan alam sampai napas manusianya putus di langit makna. Sementara kemarahan reaktif alam semesta berwujud bencana alam, kelangkaan sumber daya, dan guncangan regresif lain, menghancurkan peradaban manusia dalam diri semesta itu sendiri.

Untuk itu, patut dicatat apa yang diungkapkan W. Somerset Maugham bahwa “tragedi hidup yang terbesar adalah bukan binasanya manusia, melainkan hilangnya rasa cinta dalam diri manusia.” Yakni cinta yang dilandasi rasa kasih sayang. Dan kita tahu, cinta itu dapat langgeng manakala ia menyelimuti dirinya dengan pondasi kasih sayang yang ikhlas.

Jadi, kasih sayang yang benar-benar tulus, tidak dengan kesombongan, tentu akan melahirkan manusia beradab, yang benar-benar punya nilai bagi siapa pun. Karena ia dibangun bukan dengan kekerasan, nafsu keegoan dan berniat mengorbankan siapa pun. Sehingga pantas saja, seorang yang bijak pernah berkata “Tidak ada nilai apa pun yang lebih besar daripada nilai setiap manusia, sehingga demi nilai itu kita tak berhak untuk mengorbankan seorang manusia pun.” Inilah, barangkali makna kasih sayang sebagai rahim manusia beradab. Wallahu’alam. (Arda Dinata).***

06 September 2008

bisnis kecerdasan inspirasi

bisnis kecerdasan inspirasi
MENINGKATKAN KECERDASAN KERJA

Dari hasil penelitian, kecerdasan ganda sudah terdapat dalam diri masing-masing orang, namun karena tidak terasah sejak kecil, maka tidak semua jenis kecerdasan ganda dapat berkembang optimal. Hingga, tidak aneh bila kita temukan, bahwa seorang dewasa misalnya, ada saja yang memiliki kecerdasan verbal lebih buruk dibanding kecerdasan matematisnya. Atau kecerdasan spasial seseorang lebih baik dibanding kecerdasan musikalnya. Tentunya, seperti digambarkan pada tulisan-tulisan dalam edisi lalu, beragam kecerdasan ini kemudian dapat ditingkatkan melalui pelatihan.


-= Yudha Dewantoro & INSPIRASI =-: MENINGKATKAN KECERDASAN KERJA
Dari hasil penelitian, kecerdasan ganda sudah terdapat dalam diri masing-masing orang, ... penuhi dengan nama kontak bisnis, teman, kenalan, kerabat, ...yudhadewa.blogspot.com/2006/10/meningkatkan-kecerdasan-kerja_07.html - 24k - Tembolok - Halaman sejenis

SASAK.NET - Forum - Inspirasi - KIAT MENINGKATKAN KECERDASAN ...
26 Sep 2006 ... Kecerdasan emosional juga mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, ... memotivasi dan memberi inspirasi dan sebagainya. ...www.sasak.net/modules/newbb/viewtopic.php?topic_id=823 - 39k - Tembolok - Halaman sejenis

PC Media - Panduan Teknologi Penuh Inspirasi
Kecerdasan buatan juga telah digunakan dalam bidang bisnis, bahkan pada sebuah kompetisi trading fi nansial tahun 2001, robot bernama Bots ciptaan IBM telah ...www.pcmedia.co.id/detail.asp?Id=2030&Cid=22&Eid=53 - 42k - Tembolok - Halaman sejenis

Wedangan.com - Aktivitas Forum Wedangan
Menghadirkan tiga mentor bisnis yaitu Prie GS (di bidang mental), R.Y. Kristian Hardhianto .... Tema Inspirasi : Jurus Jitu Mengoptimalkan Kecerdasan Otak ...wedangan.com/mod.php?mod=userpage&menu=701&page_id=41 - 30k - Tembolok - Halaman sejenis

Keberkahan Finansial - Cara Mudah Mengelola Keuangan dan ...
Tidak punya penghasilan, karena tidak memiliki bisnis maupun pekerjaan, .... Orang-orang kaya, ternyata memiliki kecerdasan spiritual sesuai keyakinannya, ...keberkahanfinansial.com/ - 67k - Tembolok - Halaman sejenis

Inspirasi Pagi :: Backup Blog :: January :: 2007
SEPIA adalah akronim dari 5 kecerdasan utama manusia, yaitu kecerdasan ... in iga ada yang ga disengaja) nemu blog ini pas searching “inspirasi” di Google. ...khairulu.blogsome.com/2007/01/16/backup-blog/ - 36k - Tembolok - Halaman sejenis

(7) Memulai Bisnis Itu (Seharusnya) Gampang « Catatan Dari Madurejo
Dongeng Tentang Inspirasi Bisnis Membangun Visi .... Barangkali yang dimaksud adalah feeling dan kecerdasan bisnis yang semakin terasah. ...madurejo.wordpress.com/2007/12/13/memulai-bisnis-itu-seharusnya-gampang/ - 26k - Tembolok - Halaman sejenis

BukuKita.COM - 15 Rahasia Mengubah Kegagalan Menjadi Kesuksesan ...
Apakah nilai spiritual susah dijalankan di tengah bisnis yang keras? mau bisa ... Buku ini juga menampilkan kecerdasan spiritual sebagai senjata ampuh untuk ...www.bukukita.com/Inspirasi-dan-Spiritual/Entrepreneurship/52810-15-Rahasia-Mengubah-Kegagalan-Menjadi-Kes... - 84k - Tembolok - Halaman sejenis

Berita Hot - DISKUSI INSPIRATIF “CARA CERDAS BERBISNIS ...
DISKUSI INSPIRATIF “CARA CERDAS BERBISNIS” Mari Menjadi Otentik! ... puluhan tahun mendampingi bisnis mengatakan kecerdasan tersebut mutlak dilakukan karena ...rumahusaha.com/portal/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=64 - 26k - Tembolok - Halaman sejenis

Inspirasi Bisnis dari Handaru » Inspirasi Bisnis - Dedicated for ...
May 25, 2007 at 2:50 pm · Filed under Inspirasi Bisnis .... kecintaan lebah akan cahaya, kecerdasannya, itulah penyebab kematian lebah dalam eksperimen ini. ...